Selasa, 01 September 2009

PEMIKIR DAN KONSEP DETIUS YOMAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusai tidak akan pernah terlepas dari kebutuhan akan energi. Hal ini terbukti dari permintaan global terhadap energi yang telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1950. hingga sekarang penggunaannya sudah setara 100.000 juta ton per tahun. Di perkirakan oleh Energi Information Administration yang merupakan bagian dari Departemeen Energi AS (International Energi Outlook,2005), bahwa konsumsi energi dunia akan meningkat 57 % dari tahun 2002-2005. Permintaan ini merupakan permintaan tertinggi sejak periode 1975-1980 . Peningkatan permintaan terjadi di negara – negara berkembang termasuk Indonesia. Namun,selama ini masyarakat Indonesia hanya menggantungkan kebutuhan energi pada sumber energi minyak yang terbuat dari fosil yakni batubara, minyak bumi dan gas.

Saat ini harga minyak mencapai 100 US$ lebih per barel dan akan terus meningkat. Kenaikan harga minyak dunia menyebabkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia,karena masih diterapkan kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Semakin tinggi harga bahan bakar minyak maka semakin tinggi pula subsidi yang harus di tanggung oleh negara dalam APBN. Hal ini terjadi karna BBM didalam negeri todak sepenuhnnya di peroleh sendiri tetapi harus di import sehingga harga minyak mengikuti harga pasar Internasional.

Melihat kondisi diatas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Inddonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangakan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM walaupun kebijakan tersebut menekankan

Latar Belakang

Banjir besar di Aceh, menutup tahun 2006. 96 orang tewas dan memaksa 110.000 warga mengungsi dan merelakan aset-aset kehidupannya rusak atau bahkan musnah. Awal Februari, Jakarta, ibukota negara RI lumpuh. 57 orang tewas. 422.300 jiwa mengungsi di tempat-tempat tidak layak. Berdesakan, bercampur antara bayi, anak-anak serta laki-laki dan perempuan pada ruang sempit. Bahkan, di tempat- tempat terbuka. Bencana di Indonesia adalah keniscayaan. Secara alamiah, Kawasan Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatra, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.
Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah, iklim tropis serta lahan gambut. ini semakin diperparah dengan diabaikannya dan tidak dipedulikannya ancaman dalam seluruh aspek kenegaraan. Ketidaksiapan menyebabkan ancaman dengan mudah berubah menjadi bencana. Gempa dan tsunami di Aceh-Nias serta gempa bumi di Jogjakarta adalah contoh kongkrit. Sekalipun pemicu bencana adalah alam, namun tidak ditempatkannya potensi ancaman oleh manusia menyebabkan dampak bencana menjadi lebih besar. Kondisi seperti ini merata di seluruh wilayah Indonesia.
Ketidaksiapan (kerentanan) atas risiko dan dampak bencana merupakan kunci atas terjadinya bencana. Kondisi ini menentukan banyaknya korban jiwa, harta maupun rusaknya lingkungan. Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta dan jaminan menjalani kehidupan bermartabat paska bencana. Hal yang terpenting dan masih terabaikan adalah: penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi dan warga terkena dampak bencana menjadi lebih baik, lebih kuat dan lebih siap menghadapi ancaman dan dampak bencana berikutnya.
WALHI mencatat, selama 2006 telah terjadi 135 kejadian bencana ekologis. Lebih dari 7.000 jiwa meninggal dan lebih dari 10 juta warga terpaksa menjadi pengungsi. Tingginya intensitas bencana menyebabkan Negara harus merubah anggaran negara (APBN) tahun 2006 dari Rp 500 milyar menjadi Rp 2,9 triliyun pada APBN Perubahan tahun 2007 untuk penanganan bencana di Indonesia. Kondisi ini menunjukan, dalam penyusunan anggaran negara, potensi ancaman dan kerentanan warga belum dijadikan dasar. Demikian juga berbagai upaya integral pengurangan risiko dan dampak bencana.
Hal yang positif adalah telah disahkannya RUU PB dan RUU Tata ruang menjadi kebijakan resmi Negara. Terlepas kekurangan yang ada, masih dibutuhkan perangkat perundangan lain untuk mengimplementasikannya, baik berupa peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden. UU memandatkan pemerintah untuk membuatnya perangkat operesional tersebut dalam waktu 6 bulan sejak diundangkan. I’tikad positif lain adalah telah ditetapkannya Rencana Aksi Nasional Pengurangan risiko bencana (RAN PRB).
Kebijakan lain terkait pengurangan risiko bencana adalah yang masih proses pembahasan adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam, pesisir dan kelautan serta pulau-pulau kecil, Migas, illegal logging, persampahan, dan Ibu Kota Negara. Rancangan Undang-undang ini perlu mendapatkan pengawalan maksimal sehingga dapat secara sinergis mampu meredam risiko bencana. Sisi lain, terdapat kebijakan yang cenderung dan potensial meningkatkan risiko bencana. Perpres 36/2004, Perpu No 1/2001 tentang pertambangan di kawasan lindung, UU Investasi, maupun kebijakan-kebijakan ekstraktif. Kontradiksi kebijakan dapat melahirkan benturan kepentingan.
Pendekatan kekuasaan cenderung mengalahkan berbagai pertimbangan ilmiah maupun sosiokultural. Kondisi ini akan terus belanjut jika masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai warga negara.
Perubahan iklim (climate change) adalah realitas. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam “Climate Change 2007: impact, adaptation, and vulnerability” menunjukkan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan, beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Krisis air dan pangan, kesehatan, badai, kekeringan, banjir-longsor adalah hal telah mulai dirasakan dampaknya.
Indonesia tidak lepas dari dampak pemanasan global. Akibat naiknya air laut, diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Banjir-longsor serta badai akan semakin parah. Perubahan iklim pun akan menurunkan produktifitas pangan. Perubahan suhu dan curah hujan memungkinkan pemindahan distribusi nyamuk malaria dan demam berdarah. Penyakit lain yang akan mengancam sampai pada kematian adalah diare dan kolera.
WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil melihat, persoalan-persoalan di atas perlu direspon dan disikapi secara serius. Ancaman bagi kehidupan dan keberlanjutannya merupakan hal terpenting untuk segera diterjemahkan dengan berbagai tindakan nyata. Kerja kolektif seluruh unsur, khususnya ditingkat masyarakat akan menentukan kehidupannya itu sendiri. Kehidupan yang bermartabat. Sebagaimana mandat berdirinya Negara Republik Indonesia: “Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah..” termasuk dari seluruh ancaman bencana.

Bentuk Kegiatan

  1. Seminar dan lokakarya
  2. Dialog
  3. Workshop perumusan
  4. Kampanye publik

Tujuan Kegiatan

  1. Menghimpun pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak.
  2. Mengkonsolidasikan kekuatan rakyat sebagai kekuatan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mengurangi risiko dan dampak bencana
  3. Merumuskan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai potensi ancaman bencana.
  4. Melakukan tekanan politik untuk mengubah arah kebijakan/ pola pembangunan.

Hasil yang Diharapkan

  1. Terhimpunnya pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencanaekologis berbasis hak.
  2. Terkonsolidasinya kekuatan rakyat sebagai kekuatan kontrol dan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mereduksi risiko bencana.
  3. Adanya rumusan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas kondisi ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai pontensi ancaman bencana.
  4. Adanya agenda kolektif-implemantatif untuk menjalankan resolusi-resolusi yang terumuskan.

Waktu dan Tempat Kegiatan

Kegiatan ini bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta telp. 021. 8088.3155, dari tanggal 30 Juni - 4 Juli 2007. Peserta telah sampai ke lokasi kegiatan maksimal 30 Juni 2007.

Peserta Kegiatan

Peserta Konferensi Rakyat Indonesia untuk pengurangan risiko bencana ekologis direncanakan dapat dihadiri 1.165 orang perwakilan dari 150 Kabupaten di 26 propinsi di Indonesia. Peserta kegiatan telah berada di lokasi kegiatan pada tanggal 30 Juni 2007 pagi.

Pendahuluan

Pemanasan Global yang disebabkan oleh emisi gas penyebab efek rumah kaca adalah suatu keniscayaan. Industrialisasi dan pembangunan di seluruh dunia sedikit banyak ikut andil dalam penciptaan pemanasan global. Meskipun tidak sedikit juga upaya untuk menekan atau mencegah peningkatan pemanasan global, baik di level internasional, nasional, maupun konteks lokal.

Dalam upaya pencegahan pemanasan global ini pun, terdapat banyak sekali pandangan mengenai cara terbaik untuk mencegah bahkan mengurangi pemanasan global. Salah satunya adalah pihak yang memegang teguh prinsip modernisasi yang menyatakan bahwa pencegahan pemanasan global harus dilaksanakan melalui cara modernisasi dan teknologi, kelompok ini mempercayai bahwa teknologi dapat mencegah terjadinya pemanasan global. Di lain pihak terdapat juga kelompok radikal yang menyuarakan keinginan kembali ke alam untuk menyelamatkan bumi [1].

Dari aspek hukum internasional, kerangka hukum mengenai pemanasan global ditandai dengan adanya UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Tahun 1992 atau lebih dikenal dengan Deklarasi Rio [2] yang kemudian dilanjutkan dengan diadakannya Conference of Parties to UNFCCC yang kemudian menghasilkan Kyoto Protocol yang cukup fenomenal [3]. Meskipun dalam beberapa hal Kyoto Protocol mempunyai beberapa kekurangan, paling tidak telah memberikan suatu instrumen hukum yang bersifat internasional dalam upaya pencegahan pemanasan global. Pada tahun 2007 bertempat di Nusa Dua Bali, Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC Tahun 2007 sebagai tindak lanjut dari implementasi Kyoto Protocol.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah apakah kerangka hukum internasional tersebut telah cukup memberikan suatu kerangka hukum menyeluruh bagi pencegahan pemanasan global? Jawabannya sangat sederhana yaitu tidak karena kerangka hukum nasional bahkan lokal sangat pula dibutuhkan dalam usaha pencegahan pemanasan global. Hal ini tidak lain dikarenakan adanya keragaman sosial dan sistem hukum di antara negara-negara di dunia. Bahkan di tengah-tengah globalisasi ekonomi yang terkadang melewati batas negara, tiap negara mempunyai keragaman di banyak hal misalnya sejarah, budaya, pertumbuhan ekonomi, sistem pemerintahan dan lainnya. Keragaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pengaturan tentang lingkungan khususnya pencegahan terhadap pemanasan global.

Dengan demikian, tiap-tiap negara dapat saja mempunyai pilihan-pilihan yang berbeda dalam hal seberapa jauh pencegahan pemanasan global dilakukan dan sebarapa jauh kerangka hukum di suatu negara dibangun dalam rangka pencegahan pemanasan global. Hal ini tentunya didasarkan pada norma hukum yang ada di negara tersebut, konsep mengenai efisiensi dan keadilan, serta pengalaman suatu negara dalam pengaturan suatu kerangka hukum [4]. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan institusi hukum dalam level nasional bahkan lokal sangat penting dalam upaya pencegahan pemanasan global.

2. Kerangka Hukum Nasional

Komitmen Indonesia dalam hal pencegahan pemanasan global tidak diragukan lagi. Selain telah sukses menjadi tuan rumah UNFCCC Tahun 2007 di Nusa Dua Bali, komitmen Indonesia di dukung oleh Pernyataan Presiden SBY saat membuka pertemuan informal tingkat menteri untuk persiapan Konferensi Internasional Pencegahan Perubahan Iklim di Istana Kepresidenan Bogor mengenai pentingnya aksi global dalam pencegahan pemanasan global dan menyelamatkan bumi dan agar semua negara tidak perlu menunggu sampai pemanasan global terjadi untuk melakukan aksi bersama [5]. Pernyataan ini merupakan suatu pernyataan yang menggambarkan politik hukum Indonesia dalam upaya pencegahan pemanasan global.

Sementara itu perlu digarisbawahi bahwa terlepas dari tekanan yang kuat dari dunia internasional kepada setiap negara untuk melakukan upaya pencegahan pemanasan global, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia, perlu diingat bahwa tiap-tiap negara mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu pula, pencegahan pemanasan global harus memperhatikan aspek-aspek yang unik ini. Aspek-aspek yang khusus inilah yang harus dijadikan batu pijakan dalam pengambilan kebijakan dan pembagunan institusi hukum yang menunjang kebijakan tersebut. Dalam hal ini, Indonesia dengan anugerah Yang Maha Esa telah diberikan kekhasan yang jarang ada di negara lain, misalnya hutan yang sangat luas yang dipercaya merupakan paru-paru dunia. Kekhasan inilah yang kemudian harus dipertimbangkan dalam pembangunan institusi hukum mengenai pencegahan pemanasan global di Indonesia.

Sampai saat ini Indonesia telah meletakkan beberapa institusi hukum yang terkait dengan pemanasan global seperti misalnya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No.30 tahun 2007 tentang Energi, UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2007 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2007 tentang Perubahan Atas PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, terakhir yang terbaru adalah UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

Apabila kita melihat banyaknya peraturan perundang-undangan telah ditetapkan yang terkait dengan pencegahan pemanasan global, maka hal ini sangat konsisten dengan komitmen Indonesia dalam upaya pencegahan pemanasan global. Namun demikian, permasalahan yang kemudian terjadi dalam pembangunan hukum di Indonesia adalah ketidakseimbangan antara perhatian pada pembangunan institusi hukum nasional dan pembangunan institusi hukum daerah. Saat ini pembangunan institusi hukum di Indonesia bernuansa sangat nasional dengan beranggapan bahwa institusi hukum di daerah akan serta merta mengikuti institusi hukum nasional. Pertanyaan besar yang kemudian muncul dari kondisi demikian adalah, apakah secara kenyataan institusi hukum di daerah serta merta mengikuti pola pembangunan institusi hukum nasional terutama dalam hal pencegahan pemanasan global?

3. Pembangunan Institusi Hukum di Daerah

Negara merupakan sebuah tatanan hukum. Unsur-unsur negara yang mencakup wilayah dan rakyat merupakan bidang validitas teritorial dan personal dari tatanan hukum tersebut. Dalam hal ini sentralisasi dan desentralisasi harus dipahami sebagai dua tipe tatanan hukum. Perbedaan antara negara yang sentralistis dengan desentralistis mesti merupakan perbedaan di dalam tatanan hukumnya. Konsepsi tentang tatanan hukum sentralistis mengandung arti bahwa semua normanya berlaku bagi seluruh teritorial yang dijangkaunya; ini berarti bahwa semua normanya memiliki bidang validitas teritorial yang sama. Dipihak lain, tatanan hukum desentralistis terdiri atas norma-norma yang memiliki validitas teritorial yang berbeda. Sejumlah normanya berlaku untuk seluruh teritorial sedangkan sejumlah norma yang lain berlaku hanya untuk bagian-bagian teritorial yang berbeda [6].

Norma-norma yang berlaku bagi seluruh teritorial disebut sebagai norma-norma pusat, sedangkan norma-norma yang berlaku bagi sebagian teritorial disebut norma daerah. Norma-norma daerah ini kemudian dilembagakan dalam suatu produk hukum daerah yang salah satunya adalah perda. Perda merupakan instrumen pemerintah daerah untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi faktual demografi, geografi dan geo-sosial ekonomi masing-masing daerah ke dalam suatu sistem hukum. Dalam perda akan tergambar politik hukum pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan daerahnya.

tabel 1 kira2 disini….

Bila dilihat dari konfigurasi jumlah perda berdasarkan kategori, dapat dilihat bahwa isu-isu yang diangkat dan jenis perda yang dikeluarkan lebih banyak berkutat pada perda-perda kelembagaan atau institusi pemerintahan dan daerah serta keuangan khususnya pajak dan retribusi daerah. Desentralisasi kemudian diartikan sebagai kesempatan untuk memperkaya daerah masing-masing dengan meningkatkan pundi-pundi PAD masing-masing dengan berbagai macam cara yang dilegalkan: pajak, retribusi, pengerukan kekayaan sumber daya alam (SDA). Dalam hubungannya dengan pencegahan pemanasan global, kategori perda yang sangat terkait adalah perda yang mengatur mengenai SDA. Perda dalam kategori ini menjadi salah satu primadona dalam implementasi otonomi daerah. Faktor pemikat untuk mengatur SDA karena menganggap sumber daya tersebut bersifat given dan mudah mendatangkan keuntungan tanpa perlu melakukan investasi dahulu, cukup dengan format izin. Dalam hal ini, pembangunan institusi hukum yang dilakukan di daerah lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan dan bukan pada aspek pemeliharaan dan perlindungan. Bagaimanapun juga sektor SDA, misalnya hutan, berkait erat dengan daya dukung lingkungan dan kemampuan untuk mencegah pemanasan global.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pembuat perundang-undangan (law making institutions) di daerah telah gagal menyusun berbagai perundang-undangan transisional yang dapat berlaku secara efektif untuk mendorong terciptanya sebuah tata pemerintahan yang baik dan penegakan hukum. Sebaik-baiknya instrumen hukum internasional dan hukum nasional dibangun guna pencegahan pemanasan global, ketiadaan gerak sinergis pembangunan institusi hukum di daerah dapat mengakibatkan upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan khususnya dalam hal ini pemanasan global dapat saja tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, perhatian yang khusus perlu diberikan terhadap pembangunan institusi hukum mengenai pencegahan pemanasan global di daerah.

Di beberapa daerah pada tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak terdapat inisiatif lokal untuk membangun institusi hukum yang lebih bergigi dimana contoh salah satunya adalah Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat. Melalui Perda ini diatur secara komprehensif upaya terpadu untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menjadi kewenangan daerah yang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, Perda Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002 tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai dan Laut Dalam Wilayah Kabupaten Lampung Timur. Sehubungan dengan pembangunan institusi hukum di daerah, maka regulasi daerah yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang, pembentukan peraturan daerah yang khusus mengatur mengenai pencegahan pemanasan global dapat terwujud,

Sementara itu, pembangunan institusi hukum di daerah khususnya yang terkait dengan pencegahan pemanasan global haruslah didasarkan pada sebuah perencanaan yang matang dan sebaiknya diletakkan dalam kesatuan sistem pembentukan Program Legislasi Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Pasal 15 (2) yang menyatakan bahwa “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah”. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis. Tujuan penting keberadaan Prolegda adalah adanya skala prioritas Perda sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum di daerah serta menjaga agar produk Perda tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Namun demikian, amat disayangkan praktik penyusunan program legislasi daerah ini tidak dilakukan oleh setiap daerah sehingga pembangunan institusi hukum di daerah kadang tidak sistematis dan tidak sesuai dengan program yang direncanakan. Alangkah baiknya jika pembangunan institusi hukum mengenai pencegahan pemanasan global diletakkan dalam suatu kerangka penyusunan program legislasi daerah sehingga harmonisasi dan keteraturan institusi hukum di daerah dapat terjaga.

4. Kesimpulan

Dari perspektif hukum, pencegahan pemanasan global harus mengedepankan aspek sinergitas dari institusi hukum internasional, institusi hukum nasional, dan institusi hukum di daerah. Dalam hal ini, komitmen Indonesia terhadap pencegahan pemanasan global tidak hanya dilakukan dengan meratifikasi instrumen hukum internasional, namun juga harus diikuti oleh pembangunan institusi hukum nasional, dan lebih penting lagi adalah pembangunan institusi hukum di daerah. Bukankah “the advance guard in the frontier” dalam rangka pencegahan pemanasan global adalah pemerintahan daerah di era desentralisasi ini.

5. Kepustakaan

[1] Coglianese, Cary. Social Movements, Law, and Society: The Institutionalization of the Environmental Movement. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 150, No. 1 (Nov., 2001), pp. 85-118.

[2] Stone, Christopher D. Beyond Rio: “Insuring” Against Global Warming. The American Journal of International Law, Vol. 86, No. 3 (Jul., 1992), pp. 445-488.

[3] Davies, Peter G. G. Global Warming and the Kyoto Protocol. The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 47, No. 2 (Apr., 1998), pp. 446.

[4] Wiener, Jonathan Baert. Global Environmental Regulation: Instrument Choice in Legal Context. The Yale Law Journal, Vol. 108, No. 4 (Jan., 1999), pp. 677-800