Minggu, 17 Mei 2009

RIWAT HIDUP

NAMA : DETIUS YOMAN

TTL : TIOM,12 Nopwmber 1984

JK : LAKI-LAKI

ANAK KE : 6 dari 7 saudara

Pendidikan :

SD : SD INPRES GIMBUK 1996/1907

SLTP : SLTP N 2 TIOM 1999/2000

SMU : SMU PGRI WAMENA 2002/2003

KULIAH : S-1 UNIVERSITAS DR.SOETOMO SURABAYA 2007/2008

JABATAN : DIREKTUR UTAMA CV.LANI NABUA YAMEWA

DAFTAR NAMA-NAMA SARJANA YOMAN WENDA

NO

NAMA

GELAR

1

DETIUS YOMAN

S.Sos

2

YAGANIUS YOMAN

SE

3

KELINA YOMAN

SE

4

LUSIUR WENDA

SE

5

GIMANUS YOMAN

SE

6

DOMI WENDA

SE

7

TILITON WENDA

SH

8

ELINIUS YOMAN

ST

9

RONY YOMAN

ST

10

TUNAS WENDA

SH

11

NIBEN YOMAN

STH,SH,MA

12

YAGANOGO YOMAN

SH

13

DEMAN YOMAN

SH

14

PARES LOOD WENDA

ST

15

NAPAR YOMAN

ST

16

NETU YOMAN

SH

17

DESI WENDA

ST

18

YULIES WENDA


18

YUSMAN WENDA


19

MATOREN WENDA


20

HERRY WENDA


21

WENAL YOMAN


22

YANDINA WENDA


23

DESINA WENDA


24

ERENIUS WENDA


25

KIRIS YOMAN


26

EMUR YOMAN


26

SOFYAN YOMAN


27

GIRIUS YOMAN


28

TAIBEN WENDA


29

TEUR WENDA


30

YAWENIUS WENDA


31

TARPIUS WENDA


32

SIEN WENDA


33

BAKARIUS WENDA


34

DANIUS WENDA


35

MURDAN WENDA


36

YOPI WENDA


37

OTIUS WENDA


38

ABEKENOK WENDA


39

KAINIUR YOMAN


40

DANY YOMAN


41

DEMETIUS YOMAN


42

YANIUS TELENGGEN


43

LAPI WENDA


44

MANIUS WENDA


45

YUSMAN YOMAN


46

AKANIUS WENDA


47

MADEN WENDA


48

NESMAN WENDA


49

HERMANUS WENDA


50

EREMUS YOMAN


51

MUIS WENDA


52

ATORIUS WENDA


53

NETON WENDA


54

URBANUS WENDA


55

ITAM WENDA


56

ERNES YOMAN


57

ANTON YOMAN


58

LIUR YOMAN


59

DAUT WENDA


60

YUNIUS WENDA


61

BESMAN WENDA


62

DERIUS YOMAN


63

ABENUS YOMAN


64

YESMAN YOMAN


65

LATIER YOMAN


66

TOREN YOMAN


67

DASMAN YOMAN


68

YAKUPUS JIGIBALOM


69

LAOEREN JIGIBALOM


70

YAPIT YOMAN


71

GERIUS YOMAN


72

ABENIUS WENDA



WELINTON WENDA































bapak Duma socrates sofyan yoman ,STH.MBA KETUAgereja-gereja babtis papua.yang lahir ditengah-tengah suku yoman wenda seorang intelektual,idealis satu-satunya orng papua pada umumnya dan pada khususnya orang pegunungan tengah provinsi papua .asal tiom lanijaya papua.

JUDUL NOVEL/ARTIKEL :AMBIGU Oleh : detius yoman

JUDUL NOVEL/ARTIKEL :AMBIGU

Oleh : detius yoman

Demokrasi adalah tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan kebebasan berpendapat, persamaan hak, kesetaraan dan pengakuan. Hak Asasi adalah hak paling mendasar yang dimiliki oleh setiap anak manusia, hak akan kebebasan, hak akan hidup, hak akan mendapatkan ilmu dan lain-lain.

Demikianlah definisi dari kata demokrasi dan hak asasi yang sering kita temui dibeberapa buku, tapi apakah memang demikian pengertian demokrasi yang difahami oleh semua orang di setiap negara.

Kata yang demikian didalam ilmu logika disebut dengan kata ambigu, yakni suatu kata yang mempunyai pengertian lebih dari satu atau banyak.

Kata demokrasi berbeda pengertiannya menurut masyarakat liberal dengan masyarakat totaliter.

Suatu tindakan mungkin saja disebut demokratis disuatu tempat tapi sudah tidak lagi ditempat lagi. Bisa jadi tindakan tertentu dianggap demokratis di Amerika tapi tidak di China, Demokratis di China tapi tidak menurut orang tibet dan begitu seterusnya.

Begitu juga dengan pengertian kata hak asasi, disebut ambigu karena disetiap negara mempunyai pengertian yang berbeda-beda tentang batasan hak asasi. Suatu tindakan tertentu dianggap baik-baik aja oleh suatu negara tertentu, tapi tidak menurut negara yang lain. Suatu tindakan disebut melanggar HAM dinegara Amerika, tapi tidak menurut negara China dan Indonesia.

Selain kata yang mempunyai pengertian ambigu tersebut, didalam istilah logika dikenal juga istilah-istilah yang lain, seperti : univok, equivok dan analog.

Univok adalah kata yang mempunyai satu makna dan jelas, tidak membingungkan seperti : kursi, meja, pulpen, pensil dan sebagainya. Kata univok ini tidak terlalu sulit untuk dikenali, karena kata ini lebih sering menunjuk kepada benda.

Equivok adalah kata yang mempunyai makna lebih dari satu dan umumnya mempunyai dua makna, seperti : bunga, bulan, buku dan lain sebaginya. Bunga bisa berarti adalah gadis manis nan cantik, bisa juga berarti bunga mawar yang merah nan harum dan bisa pula berarti bunga bank.

Bulan bisa bararti bulan yang ada dilangit (planet), bisa juga berarti bulan untuk perhitungan kalender. Begitu juga buku, buku bisa berarti panjang batang tanaman diantara dua ruas, dan bisa pula berarti kertas yang diikat sebagian sisinya yang kemudian dijilid.

Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat penggunaannya didalam kalimat, seperti :

• Isabellasangatmenyukaibunga.
• Isacc menabung di BCA dan dapat bunga 7% satu tahun

Bunga pada kalimat pertama berarti bunga sebagai tanaman, bisa bunga mawar, bunga melatidanlainlain.
Bunga pada kalimat kedua mempunyai arti keuntungan atau penambahan nilai dari uang yang disimpan.

• Bulanlebihkecildaribumi
• Bulan februari sering terjadi banjir akibat hujan.

Bulan pada kalimat pertama mempunyai makna sebuah planet yang mengitari bumi.
Bulan pada kalimat kedua mempunyai makna suatu perhitungan dikalender.

Analog adalah kata yang umumnya mempunyai makna berbeda karena penggunaannya dalam kalimat.

Misalnya :

• Kursi itu terbuat dari kayu jati.
• Banyak kader partai melakukan apa saja supaya bisa mendapatkan kursi di dewan.

<> Bila hujan bumi akan basah.
<> Banyak pejabat menyukai tempat yang basah.

• Waktu muda Ani adalah bunga desa.
• Bunga di desa itu sungguh indah.

Terlihat ada kemiripan antara equivok dengan anolog, dan mereka memang mirip sehingga hampir semua kata equivok bisa dibuat menjadi kata yang bermakna analog.

Sampai disini kita sudah bisa membedakan sedikit bagaimana suatu kata itu bisa mempunyai pengertian yang sudah jelas dan tidak membingungkan dan bagaimana juga suatu kata itu bisa mempunyai makna yang ambigu dan memusingkan :)

Atas sekarang anda malah makin bingung ? , silakan utarakan apa yang mebuat anda bingung disini…

Ke Wamena, Menikmati Udang Selingkuh By. Dety geley

Ke Wamena, Menikmati Udang Selingkuh

By. Dety geley

Sudah waktunya makan siang ketika kami tiba di Wamena, Papua, pada pertengahan Desember tahun lalu. Sejenak melepas lelah, setelah berjam-jam terbang dari Jakarta menuju Sentani dilanjutkan dari Bandar Udara Sentani ke Wamena, dengan pesawat ATR 72-200 dari maskapai Triguna.
Rumah makan Blambangan, yang menurut kami paling bagus di daerah itu, menjadi sasaran kami untuk mengisi perut dan melepas dahaga. Rumah makan ini dilayani oleh gadis-gadis muda berpakaian modis. Karena masih flu, saya tak tertarik dengan sajian jus terong Belanda dan jus pokat. Saya memesan jeruk panas. Tanpa es, rasanya nikmat.

Saya mencoba mentimun dari kelompok lalapan. Rasanya manis. Juga wortelnya. Di sini tidak ada yang menggunakan pestisida.

"Oh, jadi tanaman organik, ya?" tanya saya.

"Ya, tanaman organik," ucap pemilik rumah makan itu. Esoknya, di pasar, kami melihat kubis alias kol sedikit berlubang-lubang alias dimakan ulat. Itu pertanda kol tidak disemprot dengan pestisida.

Makanan lain adalah ikan mujair goreng. Tapi yang paling nikmat adalah lauk utama: "udang selingkuh". Kenapa disebut udang selingkuh? Alasannya sederhana. Badannya memang udang, tapi sepit utamanya seperti sepit kepiting. Jadi perpaduan udang dengan kepiting, yang hidup di air tawar, terutama di Sungai Baliem yang mengalir di pinggir Wamena.

Jenis udang ini terdapat di Papua dan Australia. Ada yang besar, sebesar udang galah. Banyak yang kecil-kecil, yang kini banyak dibudidayakan di Pulau Jawa, yang dikenal sebagai lobster air tawar. Yang jelas rasanya amat manis, terutama yang sebesar jari orang dewasa. Saya coba yang besar, rasa manisnya agak kurang. Tapi secara keseluruhan nikmat. Apalagi cara penggorengannya memang cocok. Saya lihat minyaknya berwarna merah. Udangnya memang merah.

Sesampainya di Hotel Baliem Pilamo, kami hanya beristirahat sebentar.

"Sore biasanya hujan, Pak. Mumpung lagi cerah, kita langsung melihat mumi dan gua!" ucap Martin, yang menemani kami.

Dengan mobil Triton, yang cocok untuk daerah pegunungan, kami keluar dari kota sekitar 2 kilometer. Mobil memasuki jalan tanah yang mengeras. Setelah memarkir mobil di pelataran yang dikelilingi pohon-pohon besar, kami memasuki kompleks perumahan berpagar kayu, dengan pintu gerbangnya antik.

Sekelompok orang sedang membakar batu untuk memasak talas dan ubi jalar. Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa harus membakar batu dulu baru memasak talas? Api untuk memanaskan batu saja sudah mampu mematangkan talas. Tapi, ya, itulah adat mereka.

Mari kita beralih ke mumi, yang dipegangi seseorang sambil duduk dan bersembunyi di balik mumi. Dua orang dewasa mengenakan koteka memayunginya. Alex, seorang kepala suku, menjelaskan bahwa usia mumi itu sudah 370 tahun. Itu terlihat dari jumlah kalungnya yang dipasang setiap lima tahun.

Gerimis mulai turun. Kami memasuki "honai", rumah orang Wamena yang terbuka, tempat berkumpul kaum lelaki. Honai tempat menyimpan mumi itu khusus untuk kaum lelaki dewasa. Di sebelah kanannya, honai untuk perempuan berdekatan dengan honai untuk anak-anak.

Di honai untuk dapur dan gudang makanan, sekelompok ibu tua meminta rokok kepada saya. Untunglah teman saya membawa banyak rokok untuk disuguhkan kepada Alex dan kawan-kawan. Perbincangan pun berlangsung akrab diselingi tawa.

"Kalau mau 'begituan' gimana?" tanya saya kepada Alex tentang hubungan seks.
"Oh, tinggal kasih kode, pergi ke hutan!" jawabnya.
"Ini masih bisa?" tanya saya kepada orang tua di samping saya.
"Saya tidak bisa lagi!" jawabnya sambil tertawa.
"Kalau berfoto sama yang bergelantungan bagaimana?"

"Bisa Ibu, tapi yang tadi dibayar dulu," jawab Alex. Teman saya merogoh kocek Rp 250 ribu untuk melihat dan berfoto-foto dengan mumi. Untuk berfoto dengan ibu-ibu diperlukan Rp 100 ribu lagi.

Kembali ke penginapan, hujan turun.

Malam di Wamena ternyata alamiah sekali. Dinginnya bukan main. Wamena berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Sangat terasa dingin ketika malam tiba.

Keesokan harinya, seusai sarapan, saya sempatkan berjalan-jalan di sekitar hotel. Lalu dengan mobil Triton, yang di Wamena seharga Rp 400 juta padahal di Jakarta Rp 280 juta, kami keluar dari kota. Dalam perjalanan ini barulah terlihat betapa pentingnya penggunaan mobil tersebut. Dua kilometer jalanan masih bagus. Begitu berbelok ke kanan, melewati Sungai Baliem, jalanan sedikit menanjak dan menanjak lagi, melalui jalanan yang terbuat dari batu-batu. Jalanan mendaki terus, sampai ke puncak, tempat The Baliem Valley Resort, yang merupakan kerja sama Jerman-Indonesia.

Bangunan utama resor ini berupa bangunan kayu yang sedang direnovasi, agaknya yang menjadi kantor, pelayanan tamu, tempat makan, serta lobi yang memuat beragam patung dan ukiran, baik Asmat maupun dari Lembah Baliem. Di bangunan itu pula terdapat pelataran untuk memandang ke lembah, dan nun di kejauhan terlihat Kota Wamena. Di lobi ini pula dipajang kerangka kepala buaya besar, burung kasuari, serta sebuah lemari yang diisi beberapa puluh buku.

Berkunjung ke Wamena, tak afdal jika tak belanja untuk oleh-oleh pulang ke Jakarta. Karena itu, saya sempatkan pula mengunjungi pasar tradisional Wamena dengan naik becak. Dari hotel, ongkos normal Rp 8.000. Teman saya membayar Rp 50 ribu untuk dua becak.

Pasar masih sepi Minggu itu karena waktunya orang pergi ke gereja. Udang selingkuh yang ditawarkan seorang penjual tak menarik minat saya. Saya lebih tertarik hasil rajutan berwarna-warni yang ditawarkan seorang wanita muda. Saya beli satu walau harganya relatif mahal, Rp 200 ribu.

Suvenir? Tentu saya tak lupa. Di New Guinea Art Shop, toko suvenir dekat hotel, saya membeli tas kulit kayu, hiasan dinding, kalung dan gelang, serta sebuah patung seorang ibu yang menggendong bayinya. Harga patung ini lumayan: Rp 350. Semua itu kami bawa pulang, dengan pesawat jenis ATR 72-200. Berakhirlah perjalanan saya ke Wamena.