Minggu, 17 Mei 2009

Pada kesempatan dinas ke Wamena tahun 1995, saya mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan. Kota Wamena dapat dicapai dari Jayapura, dengan naik pesawat sejenis Fokker 28 . Penerbangan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah, karena kota Wamena berada didataran tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan, sesuai informasi koridor yang dapat dilalui pesawat menembus pegunungan hanya 2 (dua) buah yang cukup besar . Pada saat kabut, koridor ini kurang jelas terlihat sehingga berisiko pada penerbangan. Selain melalui jalur udara, kota Wamena belum dapat dicapai melalui melalui jalan darat. Wajar harga-harga kebutuhan pokok di Wamena sangat tinggi karena harus diangkut melalui pesawat udara.

Sesuai saran dari teman, saya pergi ke Wamena naik pesawat paling pagi dari Jayapura dan kembali dari Wamena juga pesawat paling pagi, karena pada pagi hari umumnya cuaca cerah dan jarang terjadi kabut. Saat pesawat landing di bandar udara Wamena, pesawat berputar-putar sambil menurunkan ketinggian, membuat perut terasa diaduk-aduk. Bandara Wamena masih sangat sederhana, dengan pagar terbuka dan dipenuhi penduduk asli yang melihat kedatangan pesawat.

Hotel tempat kami menginap berada dipinggir kota. Kota Wamena sangat unik, pasar nya masih sederhana, semua pembayaran dilakukan secara tunai. Penduduk asli, suku Lembah Baliem, berlalu lalang dipasar, pada saat itu masih banyak yang mengenakan koteka untuk para laki-laki dan rok berumbai-rumbai untuk wanitanya. Pada saat panas mereka mengenakan payung, ada pula yang pakai dasi yang dibuat dari untaian biji2an. Namun mereka sangat ramah, walaupun kami melakukan tawar menawar dengan bahasa tarzan.

Wamena terkenal dengan hasil sayuran, seperti wortel, kubis,dan tomat. Udang sungainya besar-besar, seperti lobster dengan dagingnya yang empuk. Di Wamena saat itu masih sulit mencari makan, sehingga selama 2 (dua) hari di Wamena kami hanya makan makanan yang dimasak di hotel. Pada saat itu sempat terjadi krisis minyak tanah, karena beberapa hari cuaca buruk, akibatnya penduduk Wamena memasak menggunakan kayu bakar, termasuk di hotel tempat saya menginap.

Kami juga pergi ke tempat suku adat, yang menyimpan kerangka telah berumur ratusan tahun. Rumah adat suku Lembah Baliem dinamakan honai, dibagi menjadi 3 (tiga) bangunan terpisah. Satu bangunan untuk tempat istirahat (tidur), bangunan yang lain untuk tempat makan (mereka makan beramai-ramai), dan bangunan ketiga untuk kandang ternak. Walaupun mereka hampir tidak pernah mandi, mereka sangat menjaga kebersihan, karena sungai dianggap tempat keramat yang tak boleh dikotori, sehingga dilarang buang air kecil/besar di sungai.

Honai atau rumah adat terdiri atas dua tingkat, berbentuk kubah melingkar, berdinding bambu utuh yang dirangkai melingkar dan beratap rumbia. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Laki-laki tidur melingkar dibawah, dengan kepala di tengah dan kaki dipinggir luarnya, demikian juga cara tidur para wanita dilantai satu.

Apabila laki-laki Wamena ingin mengawini wanitanya dan tak ingin diganggu orang lain, maka sebagai maharnya adalah babi.

Hotel kami menginap, ruangan nya terdiri dari cottage yang menyerupai honai, namun dindingnya telah dilapis dengan seng agar pada malam hari tidak dingin.

Para pegawai hotel tempat saya menginap, berfungsi pula sebagai orang yang mengenalkan kebudayaan suku Lembah baliem kepada turis. Tamu hotel pada umumnya turis asing, yang telah memesan hotel dua tahun sebelumnya, dan sebagian besar berasal dari Eropa dan Jepang. Pada siang hari, petugas hotel melayani para tamu, dengan pakai dasi. Pada malam hari, para pegawai berubah fungsi menjadi penari, yang laki-laki memakai koteka, wanitanya tanpa menggunakan penutup dada. Mereka akan mengajak para tamu menikmati acara adat suku lembah baliem, antara lain bakar batu.

Makanan pokok penduduk asli adalah ketela (ubi) rambat yang dibakar, yang acaranya disebut bakar batu. Ketela rambat dimasukkan dalam lubang besar di tanah, ditutup jerami, kemudian ditindih dengan batu besar. Pemimpin upacara mulai membakar jerami, dan sambil menunggu ubi rambat masak, kami diajak menyanyi dan menari mengelilingi batu yang dibakar tadi. Kami dengan riang ikut menari bersama mereka dan menikmati acara ini, karena Wamena di waktu malam suhunya sangat dingin, kadang-kadang bahkan dibawah 0 derajat celsius. Dengan menari-nari, panas tubuh bisa dijaga, dan sesudah ubi masak kami meneruskan acara makan di dalam honai.

Para turis asing banyak yang menginginkan menikmati tidur di honai, sehingga acara kunjungan di honai beserta kunjungan ketempat para kepala adat merupakan paket wisata yang dikoordinir oleh pemilik hotel. Para turis dibekali minyak gosok agar badannya tidak digigit oleh kutu yang bisa membuat badan bentol-bentol dan panas. Anehnya, walaupun hotel menyediakan honai dilingkungan hotel, para turis lebih senang tidur di honai beserta para penduduk asli, agar dapat merasakan situasi yang sebenarnya. Hal ini yang membuat saya kagum, karena saya lebih memilih tidur nyaman dan aman dari gigitan kutu dan tengu.

Cerita ini ditulis berdasar pengalaman pergi ke Wamena tahun 1995. Pada saat mendapat kesempatan melakukan pelatihan ke Jayapura tahun 2007, terdapat peserta pelatihan yang asli Wamena, mereka mengatakan bahwa sekarang semua penduduk Wamena telah berpakaian lengkap, penggunaan pakaian adat (koteka, dan baju rumbai-rumbai) hanya dikenakan pada saat upacara adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar