Jumat, 26 Juni 2009

SUARA YOMAN WENDA

PEMILIHAN REKTOR IPB 2007-2012 : MEMASUNG HAK DEMOKRATISASI KAMPUS

By.intelektual muda asal papua

DETIUS YOMAN

Demokrasi adalah sebuah sistem yang menjunjung tinggi nilai-nilai tentang keterbukaan, persamaan hak, transparansi, keadilan, dan Hak Azasi Manusia. Indonesia merupakan Negara dengan tingkat demokrasi yang sangat baik dan kondusif saat ini. Hal ini terjadi setelah munculnya pergolakan reformasi yang diusung dari sudut-sudut kampus di mana di sana berkumpul insan intelektual yaitu mahasiswa. Demokrasi akhirnya menuju jalan untuk membuka iklim stabilitas Negara yang kondusif.

Demokratisasi kampus merupakan awal dari demokrasi yang terjadi di Indonesia. Perubahan iklim politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim demokrasi yang ada di kampus pada saat itu. NKK BKK yang merupakan sebuah pengkebirian terhadap hak-hak demokrasi mahasiswa akhirnya hancur oleh keinginan dan kesadaran yang sangat kuat dari para intelektual muda untuk mendapatkan hak politiknya sebagai warga Negara.

Demokratisasi Kampus

Di kampus besar seperti IPB iklim demokrasi pasca reformasi 1998 sangat baik terutama di kalangan mahasiswa. Mahasiswa membentuk lembaga-lembaga yang merupakan sarana demokrasi mahasiswa di kampus. Walaupun di mahasiswa iklim demokrasi berjalan dengan kondusif akan tetapi, kampus IPB sebagai kampus BHMN masih menyisakan serpihan-serpihan jaman orde baru yang telah hancur. Serpihan-serpihan tersebut di masukan ke dalam sebuah peraturan yang memutuskan IPB menjadi BHMN yaitu PP No. 154 Tahu 2000. Pengkebirian demokrasi bisa dilihat dalam salah satu pasal yang mengatur tentang Pemilihan Rektor. Pasal 27 menyebutkan bahwa yang memilih Rektor hanya Majelis Wali Amanat dengan proporsi 65% dan Mendiknas dengan proporsi 35%. Lalu di manakah letak pengkebirian hak demokrasi itu ? Jelas bahwa pasal tersebut telah menutup peluang kesempatan civitas untuk memilih pemimpinnya sendiri.

Jika kita perhatikan pasal 27 pada PP No. 154 Tahun 2000 menyebutkan dengan jelas bahwa yang berhak memilih Rektor hanya dua unsur yaitu MWA dan Mendiknas. Bandingkan dengan pemilihan presiden sebelum SBY-JK, semua sistem diarahkan pada perwakilan di senayan. Hanya politisi-politisi senayan lah yang berhak memilih Presiden pada waktu itu. Dengan dalih bahwa dia adalah perwakilan rakyat, para anggota DPR memilih justru bukan berdasarkan keinginan rakyat tapi keinginan Partai Politik. Inilah yang menjadi celah kelemahan demokrasi Indonesia yang mengakibatkan Soeharto bisa berkuasa 32 tahun di negeri jamrud khatulistiwa ini. Saat ini, kondisi tersebut terjadi kembali di IPB, institusi pendidikan pertanian terbesar di Indonesia. Pemilihan Rektor –pemimpin institusi- hanya dipilih oleh perwakilan beberapa unsur di MWA dan Mendiknas. Jika kita sandingkan kondisi ini dengan masa orde baru, maka terlihat sekali nilai otoritarianisme masih sangat kokoh menancap di bumi ini khususnya IPB. PP No. 154 Tahun 2000 merupakan buatan rezim orde baru, oleh karena itu aturan tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi demokrasi kampus dan kondisi demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Pemilihan Ketua RW dan RT saja dipilih langsung oleh rakyat yang ada di sekitar lingkungan RW dan RT tersebut. Inilah bukti bahwa demokrasi menjadi sistem yang dipilih oleh rakyat dalam menentukan pemimpin mereka. Pertanyaannya apakah layak jika rector dipilih oleh civitasnya ? Jawabannya tentu sangat layak.

Menepis Kelemahan Demokrasi

Ignas kleden mengatakan bahwa kelemahan sistem demokrasi adalah kandidat pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas tapi memiliki konstituen yang banyak akan terpilih. Dan sebaliknya bahwa kandidat pemimpin yang memiliki kapabilitas tapi dia tidak memiliki konstituen maka dia tidak akan terpilih. Di salah satu negara di Asia bahkan yang terpilih menjadi pemimpin negara berdasarkan polling justru para pelawak yang jelas-jelas tidak memiliki kemampuan memimpin negara. Inilah kelemahan sistem demokrasi yang ada pada saat ini. Kondisi tersebut merupakan alasan kenapa para politisi di MWA IPB mempertahankan sistem lama untuk digunakan dalam pemilihan rektor kali ini. Hipotesa itu sebenarnya bisa dipatahkan, bahwa demokrasi di kampus sangat berbeda dengan demokrasi di masyarakat umum. Perbedaannya yaitu terletak pada konstituen, sistem penjaringan dan kondusifitas akademik.

Konstituen di kampus merupakan golongan intelektual yang sangat kecil kemungkinan akan melakukan praktek-praktek money politic dalam pemilihan rektor dan yang paling penting dia akan memilih kandidat dengan sikap objektif. Konsituen demokrasi merupakan mahasiswa strata diploma, sarjana, pasca sarjana, juga dosen dengan titel minimal Master/Magister, selain itu ada tenaga penunjang yang sudah lama berinteraksi dengan kaum intelektual. Jadi sangat kecil kemungkinan bahwa konstituen demokrasi di kampus akan memilih pemimpin yang tidak memiliki kapailitas.

Sistem demokrasi di kampus tidak seperti di negara, ada mekanisme penyeleksian berdasarkan pembobotan kapabilitas, mekanisme ini disebut sistem penjaringan yang tidak memungkinkan kandidat tanpa kapabilitas akan terpilih dan lolos seleksi. Pada sistem penjaringan ada tahap yang sangat penting yaitu adanya 2 tahap uji kelayakan dan kepantasan yang dilakukan oleh para profesor dan guru besar serta orang-orang dengan qou intelectual yang tinggi. Jadi sangat kecil kemungkinan seorang Profesor dan Guru Besar akan memilih artis atau pelawak yang ada di Indonesia sebagai rektor IPB. Jadi bisa kita simpulkan bahwa demokrasi di Kampus adalah demokrasi yang intelek dengan kondusifnya lingkungan kampus.

Menjadi cermin demokrasi

Akan menjadi sebuah catatan dalam sejarah demokrasi dunia jika pemilihan pimpinan IPB dan institusi pendidikan lainnya dipilih langsung. Hal ini akan menjadi sebuah prestasi jika sistem demokrasi di kampus dijalankan dengan baik dan akan sangat mungkin negara mengadopsi dan mengadaptasi sistem demokrasi yang ada di kampus. Sistem pemilihan langsung bagi sebuah institusi pendidikan bukan menjadi aib bagi institusi tersebut. Bahkan bisa jadi institusi tersebut akan menjadi sebuah cerminan bagi kampus-kampus lain yang ada di Dunia. Bukan juga merupakan sebuah kelemahan dari institusi tersebut tapi sebuah kekuatan yaitu iklim intelektualitas yang tinggi di kalangan civitas.

IPB terlihat belum bisa mengambil pilihan untuk menerapkan sistem pemilihan langsung dalam pemilihan rektor saat ini. Ketakutan bahwa pemilihan langsung merupakan aib dan kelemahan IPB masih tertanam dibenak dosen-dosen berpangkat profesor yang sering melakukan sikap cari aman dalam pengambilan keputusan. Mudah-mudahan Indonesia akan maju setelah hilangnya orang-orang tersebut dari peredaran demokrasi negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar