Jumat, 26 Juni 2009

SUARA YOMAN WENDA

Demokrasi Plutokrat dalam Pemilihan MWA IPB Unsur Masyarakat
BY.INTELEKTUAL TERMUDA
DETIUS YOMAN
Demokrasi merupakan sebuah konsekuensi dari reformasi yang digulirkan pada tahun 1998. Demokrasi yang selama 32 tahun dibelenggu oleh rezim orde baru kemudian dibuka seluas-luasnya. Demokrasi yang merupakan sistem yang di sodorkan oleh blok barat berhasil menyulap rezim otoriter –orde baru- bahkan rezim sebelumnya (orde lama) menjadi rezim dengan landasan nilai-nilai kesetaraan, keterbukaan, keadilan, musyarawah dan lain sebagainya. Akan tetapi, demokrasi saat ini sudah bukan menjadi sistem nilai yang dilaksanakan seperti semula. Demokrasi sudah menjadi sebuah retorika politik untuk menguasai opini publik. Demokrasi membuat para ‘politisi busuk’ yang jelas-jelas tidak memiliki integritas politik yang baik bisa memimpin negeri. Demokrasi bisa membuka peluang bagi para politisi yang memiliki integritas politik dan moral yang rendah akan tetapi memiliki konstituen yang banyak bisa memimpin pemerintahan. Karena sistem demokrasi dengan kepartaian membuka peluang bahwa konstituen lebih di perhatikan dari pada kompetensi. Jelas, dalam demokrasi orang yang memiliki kompetensi tapi tidak memiliki konstituen tidak bisa terpilih (memimpin). Inilah kelemahan sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Memang seharusnya orang yang memiliki kompetensi lah yang berhak memimpin atau terpilih dalam pemilihan bukan orang yang tidak memiliki kompetensi.
Kemudian muncul paham baru dari demokrasi, yaitu demokrasi plutokrat, sistem ini menisbatkan hanya orang-orang kaya dan bermodal lah yang menguasai demokrasi. Sistem ini mulai terlihat jelas bahwa orang-orang kaya yang ingin berkuasa dengan menggunakan uangnya menyuap masyarakat untuk memberikan suaranya. Kasus tersebut banyak ditemukan di Indonesia. Bukan hanya uang yang menjadi modal bagi kaum plutokrat, tetapi kekuasaan yang sebelumnya juga bisa dijadikan alat untuk berkuasa. Paham atau sistem ini dengan cepat menyebar saat genderang reformasi tahun 1998 di tabuh. Salah satu sisi yang terkena penyebarannya adalah sisi pendidikan.
Demokratisasi Kampus
Perubahan PTN menjadi PT BHMN merupakan efek dari adanya perubahan kondisi politik di Indonesia. Demokratisasi kampus diartikan sebagai otonomi kampus yang memberikan peluang kepada PTN untuk mengatur pengelolaan kampus secara bebas tapi bertanggung jawab. Akan tetapi sekali lagi, demokrasi yakni otonomi kampus yang ada menjadi kebablasan. Nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi menjadi penting ketika nilai-nilai materi diagung-agungkan. Otonomi kampus seperti halnya otonomi daerah menjadi alasan bagi pemerintah dan dunia pendidikan untuk secara perlahan melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan. Padahal sebagaimana amanat pembukaan UUD bahwa pendidikan milik semua rakyat. Pada kenyataannya pendidikan hanya diperuntukan bagi orang-orang kaya. Kaum-kaum plutokrat biasanya bergerak di sisi ini, mereka memakai alasan demokrasi untuk menguasai suatu institusi dengan uang dan kekuasaan.
Perubahan menjadi BHMN dengan dalih otonomi kampus dimulai oleh empat PTN terbesar di Indonesia yaitu UI, UGM, ITB dan IPB. Perubahan status itu terjadi pada tahun 2000 melalui Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat itu yang sedang dipimpin oleh Presiden Abdurahman Wahid. IPB berubah status dari perguruan tinggi negeri menjadi PT BHMN ini berdasarkan PP No. 154 Tahun 2000. Kontroversi perubahan ini telah memasuki babak baru saat dampak perubahan ini menghasilkan kebijakan-kebijakan yang cenderung kurang pro terhadap mahasiswa. PT BHMN memang bukan alasan utama penyebab munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang pro mahasiswa sebagai stakeholders terbesar di perguruan tinggi. Semua pihak berharap –termasuk di dalamnya mahasiswa- perubahan ini akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan berbasis potensi sumberdaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kesetaraan dan keadilan, transparansi, visi strategis, keterbukaan, dan menghapuskan kepentingan pribadi dan golongan. Itulah sebuah harapan besar, akan tetapi kita menghadapi kenyataan lain bahwa demokratisasi melalui otonomi kampus telah berhasil membuat kemunduran jumlah peminat siswa yang masuk ke IPB, SPP dan SKS menjadi meningkat, fasilitas pendidikan tidak berubah, utang IPB yang milyaran rupiah di Bank Konvensional, pemanfaatan asset yang tidak menghasilkan pemasukan bagi IPB dan lain sebagainya.
Majelis Wali Amanat di PT BHMN
Konsekuensi yang harus diterima oleh IPB dengan perubahan status ini sangat banyak, dan semua konsekuensi itu diatur dengan baik –walaupun masih inkonstitusional, karena belum disahkan- dalam PP No. 154 Tahun 2000 dan AD ART IPB. ART IPB mengatur bagaimana IPB bisa menjalankan fugsinya dengan baik sebagai PT BHMN. Salah satu hal yang diatur dalam ART IPB adalah tentang pemilihan anggota Majelis Wali Amanat. Majelis Wali Amanat atau publik lebih mengenal dengan singkatan MWA merupakan organ tertinggi non akademik IPB yang mengatur, membuat dan mengevaluasi kebijakan yang bersifat non akademik IPB sebagai PT BHMN.
Berdasarkan ART IPB –sekali lagi, walaupun masih inkonstitusional- dijelaskan bahwa unsur-unsur yang berhak menjadi anggota MWA. Unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur Senat Akademik (SA) 8 orang, Rektor, Mahasiswa, Pegawai, Alumni, Pemerintah (mewakili mendiknas), dan unsur masyarakat sebanyak 8 orang sehingga totalnya adalah 21 orang. Dalam PP 154 Tahun 2000 dinyatakan bahwa jumlah anggota MWA sebanyak 11 orang. Memang kondisi ini berbeda dengn UI, ITB dan UGM. IPB mendapatkan PP yang berbeda dengan tiga PTN lainnya. Masing-masing perwakilan dipilih melalui proses yang diatur sesuai dengan proses pemilihan yang ada di komunitas asalnya. Yang berbeda adalah pemilihan wakil MWA yang berasal dari unsur masyarakat.

Demokrasi Plutokrat dalam Pemilihan MWA Unsur Masyarakat
Sejak bulan November 2006, IPB melakukan penjaringan calon anggota MWA IPB dari unsur masyarakat. Senat Akademik membentuk Panitia Ad Hocc (PAH) untuk melakukan proses penjaringan yang selanjutnya nama-nama itu akan diputuskan di siding pleno Senat Akademik (SA). PAH membuat aturan pemilihannya, antara lain dimulai dari pengusulan nama, seleksi kelengkapan administrasi, seleksi CV, wawancara atau fit and proper test, dan terakhir diputuskan di pleno SA. Akan tetapi, sangat disayangkan proses pemilihan ini tidak berjalan secara demokratis. Penjaringan balon MWA IPB dimulai dengan publikasi persyaratan calon di media massa. Setiap civitas IPB –diatur dalam ART IPB- berhak mengajukan nama calon yang dinilai layak secara kemampuannya dan track record nya. Namun, yang terjadi adalah tidak semua civitas akademika diberikan kesempatan mengusulkan nama-nama calon tersebut. Civitas yang ‘kurang beruntung’ tersebut adalah civitas terbesar yaitu mahasiswa. Bahkan lembaga kemahasiswaan yang ada di IPB pun tidak mendapatkan kesempatan itu.
Kemudian masalah ini berlanjut, setelah sekitar 50 lebih usulan nama yang datangnya ‘hanya dari golongan tertentu’ masuk ke PAH. Kemudian PAH melakukan seleksi administrasi sehingga di dapat 25 orang nama yang memenuhi persyaratan administrasi yang ada. Dari 25 orang tersebut kemudian dilakukan seleksi Curiculum Vitae dengan mekanisme scoring. Dari hasil seleksi CV tersebut diambil 14 orang teratas berdasarkan skor yang diperoleh. Seleksi CV tersebut dilakukan oleh seluruh PAH SA. Hilangnya nilai-nilai demokrasi pun muncul kembali saat calon sudah mengerucut menjadi 25 orang dan diseleksi menjadi 14 orang. Tidak ada sama sekali publikasi tentang transparansi seleksi dan jadwal seleksi, bahkan nama-nama 25 orang dan hasil seleksi CV yang berjumlah 14 orang tersebut tidak beredar di media massa dan tidak dapat diakses oleh mahasiswa selaku stakeholders terbesar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, Ada apa dengan IPB ? Berbeda dengan proses yang dilakukan oleh salah satu PT BHMN, mereka mempublikasikannya melalui media dan meminta tanggapan dari seluruh civitas. Sepertinya pemilihan anggota MWA dari unsur masyarakat hanya milik satu golongan saja untuk mereka bisa mudah dalam menguasai seluruh potensi yang dimiliki IPB. Baru tanggal 19 Februari 2007 ke 14 nama calon anggota MWA unsure masyarakat bias diakses oleh mahasiswa dalam hal ini SA hanya mengirimkan kepada BEM KM IPB. Dan hanya beberapa hari sebelum dilakukan siding pleno, SA mempublikasikannya di website IPB. Sehingga civitas tidak berkesempatan memberikan masukan kepada Senat Akademik. Ke 14 nama tersebut adalah M Said Didu (Sekretaris Menteri BUMN), Muhamad Jafar Hafsah (Salah satu Ketua DPP Partai Demokrat), Ikhwanudin Mawardi (Staf Ahli di BAPPENAS), BS Kusmuljono (Presiden Komisaris Asuransi Takaful Indonesia), Ishartanto (Anggota Komisi IV DPR RI dan Ketua Forum Dosen PTS se-Indonesia), Didik Hadjar G (Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan Indonesia), Krisna Wijaya (Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan), Didik J Rachbini (Anggota Komisi VI DPR RI dan Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) 2000-2005), Sofyan Djalil (Menteri Komunikasi dan Informasi), Burhanudin Abdullah (Gubernur Bank Indonesia), Prabowo Subianto (Mantan PANGKOSTRAD), Muhammad Taufiq (Deputi HRD, Kementerian Koperasi dan UKM), Ginanjar Kartasasmita (Mantan Menteri Pertambangan dan Energi), dan Michael Gautama (Pengusaha)
Drama atas nama demokrasi akhirnya berujung pada sidang pleno Senat Akademik yang dilaksanakan pada hari senin pada tanggal 5 Maret 2007. Hasil sidang pleno yang menggunakan mekanisme voting tertutup berhasil memilih 7 dari 14 orang calon tersebut. Sedangkan satu orang lainnya yaitu akan diwakili oleh Gubernur Jawa Barat (Dani Setiawan). Ke tujuh orang tersebut adalah Ikhwanudin Mawardi (Staf Ahli di BAPPENAS), M Said Didu (Sekretaris Menteri BUMN), BS Kusmuljono (Presiden Komisaris Asuransi Takaful Indonesia), Ishartanto (Anggota Komisi IV DPR RI dan Ketua Forum Dosen PTS se-Indonesia), Didik J Rachbini (Anggota Komisi VI DPR RI dan Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) 2000-2005), Burhanudin Abdullah (Gubernur Bank Indonesia), dan Muhammad Taufiq (Deputi HRD, Kementerian Koperasi dan UKM)
Jika kita memperhatikan calon-calon yang terpilih maka mungkin kita akan bertanya-tanya, apakah para anggota Senat Akademik memilih untuk kepentingan IPB atau hanya untuk kepentingan pribadi ? Dari ketujuh orang tersebut tentunya civitas akademika khususnya mahasiswa belum puas. Karena proses pemilihan dari awal yang cenderung tertutup, bahkan akses informasi untuk mahasiswa pun sangat dibatasi. IPB telah memilih orang-orang yang akan duduk di majelis tertinggi di IPB. Dan ke tujuh orang tersebut belum memenuhi kriteria. Kriteria yang harus dipenuhi antara lain tidak pernah terlibat kasus korupsi, tidak pernah terlibat kasus pelanggaran HAM, bukan fungsionaris partai tertentu, pengusaha yang tidak korup dan tidak dzolim, memiliki komitmen pada IPB, komitmen terhadap MWA IPB, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki komitmen memajukan pertanian Indonesia.
Jika kita memperhatikan dan mencoba menganalisis alur pemilihan MWA IPB unsur masyarakat di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa para Pimpinan IPB telah mengadopsi sistem demokrasi plutokrat. Sifat ketertutupan dari demokrasi pemilihan MWA hanya di miliki oleh kalangan yang memiliki modal (uang) dengan indikasi ingin mempertahankan kekuasaannya di IPB. Dari nilai demokrasi yang ada mengakibatkan calon yang terpilih merupakan calon-calon titipan penguasa lama (rezim). Tentu saja para pengambil keputusan tidak memperhatikan kriteria-kriteria yang diajukan oleh civitas akademika. Hal ini dikarenakan demokrasi yang ada hanya merupakan topeng politik. Sistem yang ditonjolkan bukan sistem demokrasi murni tapi demokrasi plutokrat seperti yang telah diuraikan di atas.
Sangat jelas memang demokrasi kalangan elit kampus IPB lebih menonjolkan plutokratisme dibandingkan nilai-nilai keterbukaan dan prinsip good governance. Hal itu bisa terlihat dalam alur pemilihan anggota MWA unsur masyarakat. Ketertutupan dalam proses pemilihan merupakan ketakutan elit-elit kampus dalam melaksanakan demokrasi seutuhnya. Ketakutan bahwa dorongan kepentingan IPB dan bangsa akan menggerser kepentingan pribadinya. Tentunya kita sudah bosan dengan rezim yang sudah berkuasa lama ini, rezim yang tidak satupun memberikan perubahan kepada IPB lebih baik, justru memperpuruk keadaan IPB. Rezim yang mengakibatkan peminat untuk masuk IPB berkurang karena biaya SPP dan SKS yang tinggi. Utang IPB yang sangat menumpuk merupakan salah satu dampak salah urus dari rezim yang sedang berkuasa ini.
Sayang, rezim tersebut kembali akan berkuasa selama 5 tahun ke depan dengan demokrasi plutokratnya. Para kaum plutokrat tersebut memulainya dalam pemilihan MWA, karena MWA jelas merupakan organ institut yang akan menentukan kebijakan-kebijakan terutama masalah ‘uang’ dan mungkin sekarang mereka (baca : kaum plutokrat) sedang menyiapkan rektor yang satu mazhab dengan rezimnya, sehingga kekuasaannya akan penuh di Institut ini. Kita harus waspada, karena rezim tirani yang saat ini berkuasa akan mempertahankan kekuasaannya sampai minimal 5 tahun ke depan. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai unsur intelektual organik terbesar yang ada di IPB harus berperan besar dalam agenda-agenda penting yang sedang dihadapi oleh IPB. Setidaknya untuk menggugurkan keinginan rezim tirani yang sekarang yang akan berkuasa lagi. Dan untuk tanah air kita yang subur ini...
Katakan hitam adalah hitam...
Katakan putih adalah putih....
Tiada kata jera dalam perjuangan....
Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan kami, sampai darah ini tak lagi berwarna merah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar