Jumat, 26 Juni 2009

UNIVERSITAS TERBUKA KELAS EKONOMI

UNIVERSITAS TERBUKA KELAS EKONOMI #8: Kaum Bob Marley

Di 'buku' kuliah UT kelas Ekonomi jurusan Tanah Abang-Kota, saya melihat
sebuah 'halaman' kumuh, tempat para pemilik negara yang sebenarnya
bermukim dan bertempat tinggal. Saya katakan kumuh, karena memang tidak
layak disebut sebagai tempat tinggal. Sampe yan tahu, kumuh di Jakarta
artinya adalah tempat subur menyimpan dendam dan amarah. Disitulah
kebanyakan mahasiswa abadi UT bertempat tinggal. Di tempat yang terpojok
dan terdesak. Tempat tinggal para mahasiswa yang berstatus orang-orang
marginal, para ma ling, copet, pelacur, pengemis bercampur dengan para
penjual mie ayam, bakso, penjual barang bekas, penjual arang. Juga tempat
tinggal para pendakwah kebenaran, ustadz, kyai dan pendeta.

Saya menyebutnya kaum Bob Marley. Mungkin memang kebetulan jika seorang
Bob Marley - penggagas musik reggae itu - pernah tinggal di daerah kumuh
di wilayah Trenchtown, West Kingston sebelum menjadi seorang musisi dunia.
Tidak heran banyak lirik2 lagunya y ang menjeritkan penderitaan masyarakat
kelas marginal. Kebetulan juga, disalah satu dinding pemukiman kumuh
tempat para mahasiswa abadi UT itu tinggal terpampang lukisan grafitti Bob
Marley yang setiap saat saya saksikan setiap kali melewatinya, bersebela
han dengan lukisan bendera Jamaica, negara kelahiran Bob Marley. Di bawah
dinding itu terdapat tumpukan karung berisi arang batok kelapa yang
digunakan untuk membakar sate yang dijual oleh mahasiswa penjual sate
Madura. Tanah sekitarnya berwarna hitam leg am. Sementara di kanan kiri
dinding tersebut berserakan tumpukan kayu bakar.

Kembali ke dinding bergambar Bob Marley tadi. Saya selalu tercenung
menatap gambar tersebut setiap kali melewatinya. Kenapa gambar Bob Marley?
Siapa yang menggambarnya dan apa maksudnya melukis di tempat kumuh
tersebut? Saya hanya bisa menduga-duga. Kalau dipikir-pikir, lirik yang
dijeritkan Bob Marley kan bahasa Inggris, bagaimana mungkin para mahasiswa
ini memahami bahasa Inggris, sementara untuk menyambung nyawa esok hari
saja mereka harus bergulat mati-matian, bahkan sampai mati beneran!
Darimana mere ka tahu lirik2 lagu Bob Marley menyuarakan penderitaan?
Kenapa bukan gambar Rhoma Irama saja?

Mungkin itu yang dinamakan keajaiban musik. Reggae dan dang-dut sama-sama
menjeritkan penderitaan. Bedanya, reggae tidak saja menjadi semacam
katarsis bagi amanat penderitaan, tapi juga menjadi suara perjuangan
revolusi dan gerakan perlawanan kalangan mar ginal. Dangdut? Dia hanya
berhenti sebagai musik, sebagai hiburan dikala patah hati. Bahkan dang-dut
politiknya Rhoma Irama saja tidak menggerakkan apa-apa, selain tawuran
antar penggemar yang sama-sama tersinggung gara2 bokongnya saling
bersenggolan. Sel ebihnya, dang-dut hanya menyuarakan penderitaan yang
lain, penderitaan hati akibat putus cinta, cerai atau ditinggal mati! Itu
saja!

Gambar Bob Marley di dinding itu bukan main-main. Dia tidak sekedar
menyuarakan penderitaan kaum dang-dut, tapi lebih dari itu dia menyuarakan
penderitaan akibat ketertindasan. Penderitaan yang lebih fundamental, yang
berpotensi menggerakkan. Mereka kaum Bob Marley yang tidak tahu arti
lirik2 lagu Bob Marley, tapi dapat menangkap roh ketertindasan yang
disuarakan oleh Bob Marley. Gambar Bob Marley seakan mewakili gejolak
perasaan mereka. Siapapun yang menggambarnya, dia tahu arti dendam dan
amarah yang te rpendam. Tinggal menunggu waktu saja untuk dilampiaskan.
Jika kaum ini bergerak, siapa yang dapat menghentikannya? Them Belly Full

Tidak ada komentar:

Posting Komentar